Pengertian dasar dari Good Corporate Governance
(GCG) yang
dikemukakan oleh James D. Wolfensohn dari
presiden world bank, tahun 1999: ‘The proper governance of companies will become as crucial to the world
economies as the proper governing of countries.’ Yang dapat diartikan “The tata
kelola yang baik dari perusahaan
akan menjadi sebagai penting untuk ekonomi dunia
sebagai pemerintahan yang tepat dari negara. "
Sedangkan menurut Cadburry, tahun 1992 GCG GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan
agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam
memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan
stakeholders pada umumnya. . Tentu saja
hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham,
dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan
tertentu.
Menurut Center for European Policy Studies (CEPS), punya
formula lain. GCG, papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang
dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang
ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini
adalah hak seluruh stakeholders, bukan terbatas kepada shareholders
saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholders secara
individual untuk mempengaruhi manajemen, sehingga memungkinkan stakeholders menerima informasi
yang diperlukan seputar aneka kegiatan perusahaan.
Dan juga sejumlah negara juga mempunyai
definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan
pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah, seperti dibawah ini:
1. . Kelompok
negara maju (OECD)
Mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen
perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan
di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut
mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu
fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan
yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability,
dan tentu saja fairness.
2. ADB (Asian Development Bank)
Menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama
yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia.
Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang
digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke
arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan
akhirnya adalah menaikkan nilai saham
dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder
lainnya.
3. Di
Indonesia
Secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan.”
Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut “tata pamong”,
atau penadbiran - yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di
telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum
di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun
masih rancu dengan terminologi manajemen. Kemudian, “GCG” ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan
proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan
nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good
Corporate Governance merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya
dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3. Suatu proses
yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
pengukuran kinerjanya.
Dari pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek
penting dari GCG yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni;
· Adanya keseimbangan
hubungan antara organ-organ perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), Komisaris, dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang
berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ
perusahaan tersebut (keseimbangan internal)
· Adanya pemenuhan
tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada
seluruh stakeholder. Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait
dengan pengaturan hubungan antara perusahaan dengan stakeholders
(keseimbangan eksternal). Di antaranya, tanggung jawab pengelola/pengurus
perusahaan, manajemen, pengawasan, serta pertanggungjawaban kepada para
pemegang saham dan stakeholders lainnya.
· Adanya hak-hak
pemegang saham untuk mendapat informasi yang tepat dan benar pada waktu
yang diperlukan mengenai perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam
pengambilan keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan
mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang diperoleh
perusahaan dalam pertumbuhannya.
· Adanya perlakuan
yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas
dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi
yang material dan relevan serta melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa
menguntungkan orang dalam (insider information for insider trading).
Empat Prinsip Utama Corporate Governance
Setelah definisi
serta aspek penting GCG terpaparkan di atas, maka berikut adalah prinsip yang
dikandung dalam GCG. Di sini secara umum ada empat prinsip utama yaitu: fairness,
transparency, accountability, dan responsibility.
1. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa
didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness
juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor - khususnya pemegang saham
minoritas - dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider
trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan),
dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang
dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan
saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain. Biasanya,
penyakit yang timbul dalam praktek pengelolaan perusahaan, berasal dari
benturan kepentingan. Baik perbedaan kepentingan antara manajemen (Dewan
Komisaris dan Direksi) dengan pemegang saham. Di tengah situasi seperti ini, lewat prinsip fairness,
ada beberapa manfaat yang diharapkan bisa dipetik. Yakni Fairness diharapkan
membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent
(hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair
(jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada
perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan seperti disebutkan di
atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin
perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness
memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa
peraturan dan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat
ditegakkan secara baik serta efektif. Yang pada akhirnya dapat menghindarkan penyalahgunaan
lembaga peradilan (litigation abuse). Di antara (litigation
abuse) ini adalah penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan dalam
mengambil keputusan sehingga pihak yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur
waktu kewajiban yang harus dibayarkannya.
2.
Transparency (Keterbukaan Informasi)
Bisa diartikan
sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Perbincangan prinsip ini sendiri sangatlah menarik.
Pasalnya, isu yang sering mencuat adalah pertentangan dalam menjalankan prinsip
ini. Semisal, adanya kekhawatiran perusahaan bahwa jika ia terlalu terbuka,
maka strateginya dapat diketahui pesaing sehingga membahayakan kelangsungan
usahanya. Wajarkah kekhawatiran seperti itu? Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan
harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai
pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan,
diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi
lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara
akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses
informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan
prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang
mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena
adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu,
jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya
efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan
baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict
of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
3. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur,
sistem dan pertangungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. Masalah yang sering ditemukan di perusahaan-perusahaan Indonesia adalah
mandulnya fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Atau justru sebaliknya, Komisaris
Utama mengambil peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan direksi.
Padahal, diperlukan kejelasan tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta
suatu mekanisme pengecekan dan perimbangan dalam mengelola perusahaan. Kewajiban untuk memiliki Komisaris Independen dan
Komite Audit sebagaimana yang ditetapkan oleh Bursa Efek Jakarta, merupakan
salah implementasi prinsip ini.
Tepatnya, berupaya memberdayakan fungsi pengawasan
Dewan Komisaris. Beberapa bentuk implementasi lain dari prinsip accountability
antara lain:
· Praktek Audit
Internal yang Efektif, serta
· Kejelasan fungsi,
hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan
Statement of Corporate Intent (Target Pencapaian Perusahaan di masa depan)
Bila prinsip accountability ini diterapkan
secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan
tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi. Dengan
adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency
problem (benturan kepentingan peran).
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian
(patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat
serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk
yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan
lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan
persaingan yang sehat.
Beberapa contoh
mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
° Kebijakan sebuah
perusahaan makanan untuk mendapat sertifikat “HALAL”. Ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Lewat sertifikat ini, dari sisi konsumen,
mereka akan merasa yakin bahwa makanan yang dikonsumsinya itu halal dan tidak
merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi Pemerintah, perusahaan telah mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Perlindungan Konsumen).
Dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut akan menjamin loyalitas konsumen
sehingga kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan kemampuan mencetak laba lebih
terjamin, yang pada akhirnya memberi manfaat maksimal bagi pemegang saham.
° Kebijakan
perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga
merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini
menjamin mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar.
Demikian pula dari sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup. Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan
tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan usaha karena akan mendapat
dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan.
Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan
menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia menghasilkan
eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung
oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip responsibility ini juga
diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan
dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari
mekanisme pasar.
Prinsip-prinsip di atas perlu diterjemahkan ke dalam
lima aspek yang dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation
and Development) sebagai pedoman pengembagan kerangka kerja legal,
institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu
negara. Lima aspek tersebut antara adalah:
1. Hak-hak pemegang
saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak pemegang saham harus dilindungi dan
difasilitasi.
2. Perlakuan setara
terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham
minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh pemegang
saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perhatian bila
hak-haknya dilanggar.
3. Peran stakeholders
dalam corporate governance: Hak-hak para pemangku kepentingan (stakeholders) harus
diakui sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara
perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama
menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan.
4. Disklosur dan
transparansi: Disklosur atau pengungkapan yang tepat waktu dan
akurat mengenai segala aspek material perusahaan, termasuk situasi keuangan,
kinerja, kepemilikan, dan governance perusahaan.
5. Tanggung jawab Pengurus
Perusahaan (Corporate Boards): Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan
oleh Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik
terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan Komisaris
terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Manfaat dan Faktor Penerapan GCG
Menurut (Tri Gunarsih, 2003). Untuk meningkatkan
akuntabilitas, antara lain diperlukan auditor, komite audit, serta remunerasi
eksekutif. GCG memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan
efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:
- Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
- Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
- Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para
pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap
keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena
umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal
dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan.
Manfaat GCG ini
bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga dalam jangka panjang dapat menjadi
pilar utama pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar pemenang era
persaingan global.
Akan tetapi, keberhasilan penerapan GCG juga memiliki
prasyarat tersendiri. Di sini, ada dua faktor yang memegang peranan, faktor
eksternal dan internal.
- Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor
yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan
penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu
menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/
lembaga pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good
Governance dan Clean Government menuju Good Government Governance
yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best
practices) yang dapat menjadi standard pelaksanaan GCG yang efektif dan
profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan).
d. Terbangunnya
sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini
penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai
kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara
sukarela.
e. Hal lain yang
tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama
di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan
publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas
pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan
lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam
implementasi GCG.
- Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan
pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor
dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture)
yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di
perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan
perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga
didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif
dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan
terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk
mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga
kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan
dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling
strategis dalam mendukung penerapan GCG secara efektif sangat tergantung pada
kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang
menggerakkan organ perusahaan.
Dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir setidaknya topik mengenai GCG menjadi hal yang
mendominasi didalam era globalisasi belakangan ini. Dan sekurangnya terdapat
dua dasar yang malatarbelakangi hal tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan
dalam jangka panjang, sekaligus
memenangkan persaingan bisnis global - terutama bagi perusahaan yang telah
mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka
2. krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini
muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, Sistem Regulatory yang
payah, Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang
lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli
terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Dengan keyakinan tersebut tidaklah mengherankan apabila selama dasawarsa
1990-an, tuntutan terhadap penerapan GCG secara konsisten dan komprehensif
datang secara beruntun. Mereka yang menyuarakan hal itu di antaranya adalah
berbagai lembaga investasi baik domestik maupun mancanegara, termasuk institusi
sekaliber World Bank, IMF, OECD, dan APEC.
Dengan melontarkan beberapa prinsip umum
dalam CG seperti fairness, transparency, accountability, stakeholder
concern. Dengan tujuan
akhirnya adalah daya saing yang tangguh, yang diikuti pulihnya
kepercayaan investor.
Pastinya mereka yang mulai menyuarakan tentang penerapan GCG tidaklah
sembarangan dalam mengutarakan aspirasi mereka. Tentunya hal ini diperkuat
dengan adanya beberapa contoh skandal yang terjadi pada Negara-negara eropa dan
Amerika, misalnya saja bahwa public jelas sekali sangat memperhatikan ketika
munculnya beberapa kasus yang melibatkan dari perusahaan-perusahaan public
besar sekelas Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck,
Maxwell, dan lain-lain.Cadbury Report (UK) dan Treadway Report (US) yang
dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktik curang dari manajemen puncak
yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena lemahnya
pengawasan yang independen oleh corporate boards.
Didalam isu tentang masalah GCG terdapat dua
teori yang mengemuka ke atas permukaan, diantaranya adalah:
1. Stewardship
theory
Yakni
dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa
manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung
jawab memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang
tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan
kata lain teori ini memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan
sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders
pada khususnya.
2. Agency
Theory
Yang dikembangkan oleh Michael Johnson, seorang professor dari Harvard,
memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai ‘agents’ bagi para pemegang saham,
akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan
sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham
sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model. Melainkan teori ini memandang bahwa
manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya
bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory
mendapat respons lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang
ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan
bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan perusahaan harus diawasi
dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh
kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini
menimbulkan apa yang disebut sebagai agency costs, yang menurut
teori ini harus dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk mengurangi
kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya enforcement-nya. ‘Biaya’ yang harus dibayar tersebut, dalam konteks corporate governance,
adalah biaya untuk: "... Kontrol
manajerial 'kesempatan' dengan
memiliki kursi independen dewan CEO dan menggunakan insentif untuk mengikat kepentingan CEO untuk para
pemegang saham (Jensen, MC,
dan WH Meckling
(1986), 'Teori perusahaan
- perilaku manajerial, biaya agensi dan struktur
kepemilikan, "Journal Ekonomi
Keuangan, Nomor 3, hal 305-60).
Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang
saham; biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang
transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal;
serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham
sebagai bentuk ‘bonding expenditures’ yang diberikan kepada manajemen
dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan
manajemen dengan pemegang saham. Meskipun demikian, potensi untuk munculnya agency problem tetap ada
karena adanya pemisahan antara kepengurusan dengan kepemilikan perusahaan,
khususnya di perusahaan-perusahaan publik. Yaitu perbandingan kegiatan antara corporate
governance dan corporate management memperlihatkan bahwa corporate
governance sangat terkait dengan aspek pengawasan dan akuntabilitas,
sementara corporate management terkait dengan keputusan-keputusan dan
pengendalian eksekutif serta manajemen operasional. Sementara itu, titik temu
atau irisan antara keduanya dalam banyak hal terwujud dalam pengambilan
keputusan-keputusan strategik.
0 komentar:
Posting Komentar